Rajakera FEED

Informasi Seputar Dunia Travelling, Kuliner dan Lainnya

Kuliner

10 Makanan Tradisional Indonesia yang Hampir Punah

0 0
Read Time:4 Minute, 1 Second

RAJAKERAFEED – Indonesia memiliki kekayaan kuliner yang luar biasa yang menghasilkan makanan tradisional Indonesia yang menarik, dengan ribuan resep turun-temurun dari berbagai suku dan daerah. Namun, di tengah gempuran makanan modern dan globalisasi, banyak makanan tradisional Indonesia yang mulai terlupakan. Makanan-makanan ini tak hanya lezat, tetapi juga sarat nilai budaya, sejarah, dan identitas lokal. Sayangnya, beberapa di antaranya nyaris punah karena minimnya regenerasi, bahan yang sulit ditemukan, atau karena dianggap “kurang kekinian”.

Berikut ini adalah 10 makanan tradisional Indonesia yang hampir punah dan perlu dilestarikan agar generasi mendatang tetap bisa merasakannya.


1. Kue Rangi (Betawi – Jakarta)

Kue Rangi merupakan makanan khas Betawi yang terbuat dari campuran kelapa parut dan tepung sagu, lalu dipanggang dalam cetakan khusus. Disajikan dengan siraman saus gula merah yang kental, rasanya manis dan gurih.

Sayangnya, kue ini sudah sangat jarang ditemukan, bahkan di pusat kuliner Betawi sekalipun. Minimnya penjual dan perubahan selera masyarakat membuat kue rangi nyaris punah.


2. Gulo Puan (Sumatera Selatan)

Gulo puan adalah makanan manis khas Sumatera Selatan yang dibuat dari campuran susu kerbau dan gula merah. Makanan ini dulunya hanya disajikan pada acara adat atau hari besar dan menjadi simbol kemakmuran.

Kini, sulit sekali menemukan gulo puan karena jumlah peternak kerbau perah menurun drastis dan proses pembuatannya yang cukup rumit. Hanya sedikit orang yang masih tahu cara membuatnya.


3. Kaledo (Sulawesi Tengah)

Kaledo, singkatan dari “Kaki Lembu Donggala”, adalah sup tulang sapi dengan kuah asam pedas khas Palu. Hidangan ini sangat khas karena disajikan dengan potongan besar tulang sapi lengkap dengan sumsum di dalamnya.

Meskipun cita rasanya unik, kaledo mulai ditinggalkan generasi muda karena dianggap kurang praktis dan terlalu berlemak.


4. Nasi Cikur (Tasikmalaya – Jawa Barat)

Nasi cikur terbuat dari nasi yang ditumis dengan kencur (cikur dalam bahasa Sunda) dan bumbu lainnya. Aromanya khas dan rasanya sangat gurih.

Makanan ini mulai jarang dijumpai karena tidak banyak warung atau restoran yang menjualnya. Selain itu, kencur bukan lagi bumbu utama dalam masakan modern.


5. Sayur Babanci (Betawi – Jakarta)

Sayur ini unik karena tidak bisa dikategorikan sebagai sayur, sop, atau kari. Sayur babanci menggunakan daging sapi dan sekitar 20 jenis rempah serta bahan tradisional seperti kencur, temu kunci, dan bunga kecombrang.

Makanan ini dulunya hanya disajikan saat perayaan besar masyarakat Betawi, tapi kini sudah sangat langka dan hanya bisa ditemukan pada event kuliner tertentu.


6. Weci (Malang – Jawa Timur)

Weci adalah gorengan khas Malang yang terbuat dari sayuran dan udang kecil, biasa disantap dengan petis. Rasanya gurih dan teksturnya renyah.

Namun, kini weci mulai kalah saing dengan gorengan modern atau makanan cepat saji yang lebih praktis. Penjualnya pun semakin sedikit, terutama di luar Jawa Timur.


7. Tetu / Kapurung (Sulawesi Selatan)

Tetu atau kapurung adalah makanan khas Bugis-Makassar yang dibuat dari tepung sagu, disajikan dengan kuah ikan atau sayuran. Makanan ini merupakan simbol kebersamaan dalam budaya lokal.

Meski masih bisa ditemukan di beberapa tempat, kapurung mulai ditinggalkan karena generasi muda lebih menyukai makanan praktis. Proses pembuatannya pun tidak sederhana.


8. Clorot (Jawa Tengah dan Yogyakarta)

Clorot adalah jajanan pasar yang terbuat dari campuran tepung beras, santan, dan gula merah yang dikukus dalam daun janur (daun kelapa muda). Bentuknya unik seperti kerucut.

Sayangnya, clorot mulai menghilang karena dianggap kuno dan kurang menarik untuk pasar modern. Padahal, rasanya sangat khas dan teksturnya lembut.


9. Gaplek (Jawa Tengah dan Jawa Timur)

Gaplek adalah makanan pokok pengganti nasi yang terbuat dari singkong kering. Dulunya populer di masa paceklik, kini gaplek hanya dikenal sebagai “makanan orang tua zaman dulu”.

Minimnya konsumsi dan stigma negatif membuat gaplek terancam punah, meski sebetulnya memiliki nilai gizi yang baik dan cocok untuk program diversifikasi pangan.


10. Lemea (Bengkulu)

Lemea adalah makanan khas masyarakat Rejang di Bengkulu yang terbuat dari fermentasi rebung dengan ikan dan bumbu. Rasanya asam dan gurih, sangat khas dan berbeda dari masakan lainnya.

Makanan ini mulai jarang dibuat karena butuh waktu fermentasi cukup lama dan bahan-bahannya tidak mudah didapatkan. Belum banyak generasi muda yang mengenal lemea, apalagi menyukainya.


Mengapa Harus Dilestarikan?

Makanan-makanan di atas bukan sekadar soal rasa, tetapi menyimpan nilai sejarah dan kearifan lokal. Banyak dari makanan ini yang terkait erat dengan upacara adat, musim panen, hingga filosofi hidup masyarakat lokal. Jika dibiarkan hilang, maka kita kehilangan bagian dari identitas budaya bangsa.

Melestarikan kuliner tradisional bisa dilakukan melalui banyak cara, seperti:

  • Mengangkat kembali dalam festival kuliner dan media sosial
  • Mengajarkan resepnya di sekolah atau pelatihan memasak
  • Mengadaptasi kemasannya agar cocok untuk pasar modern
  • Menciptakan usaha mikro kuliner berbasis warisan lokal


Penutup

Indonesia bukan hanya kaya akan rempah dan hasil bumi, tetapi juga kaya akan cerita dari setiap makanan yang lahir di berbagai pelosok negeri. Makanan tradisional yang hampir punah adalah bagian dari warisan yang tidak boleh dilupakan.

Jika kita ingin kuliner Indonesia tetap hidup dan menjadi kebanggaan dunia, maka dimulai dari diri sendiri: mencicipi, mengenalkan, dan melestarikan. Mari kita jaga warisan rasa yang tak ternilai ini untuk anak cucu kita kelak.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %